“KEBOHONGAN AWAL DARI KEHANCURAN”
Kehidupan
akan tentram jika kita patuh terhadap peraturan yang berlaku. Nama saya Fatin
Kusuma, panggil saja saya Entin. Saya tinggal didesa Sukamaju. Saya tinggal
bersama keluarga kecil saya, saya anak tunggal dari Bapak Ngadimin dan Ibu
Susanti. Ayah dan Ibu bekerja di kebun teh. Dan dari penghasilan itulah saya
bisa sekolah sampai di SMA ini.
Pagi-pagi
sekali ibu bangun lalu menanak nasi, “Ibu biar Entin saja yang menyiapkan
sarapan”, kataku sambil menyucak mata karena baru bangun tidur. “Eh anak ibu
sudah bangun, sudahlah biar ibu saja nak, kamu segera mandi dan siap-siap
berangkat sekolah,” pinta ibu kepadaku. “Ya sudah bu kalau begitu Entin mandi
dulu”, sahutku.
“Entin,
sarapan dulu nak,” panggil ibu sambil mengetuk pintu kamarku. “Iya, sebentar
lagi,” jawabku. “Ayah dimana bu, kenapa tidak ikut sarapan?” tanyaku. “Ayahmu
sudah berangkat sehabis subuh tadi,” jawab ibu. “Kenapa pagi-pagi sekali?
Biasanya Ayah ke kebun bareng sama Entin,” tanyaku heran. “Ayah pergi ke kota,
untuk membayarkan pajak warga kampung Sukabumi,” jawab ibu sambil menyiapkan
nasi untukku.
Sepulang
sekolah seperti biasa saya langsung membantu ibu memetik teh di kebun milik pak
Dharma. Ketika dalam perjalanan tiba-tiba, BRUG. “Aaau sakit,” kataku sambil
menarik kakiku yang tertimpa sepeda buntutku. “Maaf kamu tidak papa?” sahut
pemuda itu sambil membantuku berdiri. “Iya tidak papa,” jawabku. “Maafkan saya,
rem motor saya agak mendor,” jawab prmuda itu. “Oya, nama saya Farid, saya
orang baru disini,” sahutnya lagi. “Fatin, tapi panggil saya Entin. Pastas saja
saya baru melihat kamu,” jawabku. “Iya, saya baru pindah tadi pagi, itupun juga
karena pekerjaan ayah saya,” sahutnya menjelaskan. Sesampainya dijembatan
perjalanan kitapun berpisah. “Entin, sampai disini dulu ya. Saya harus segera
pulang,” kata Farid. “Iya tidak papa Farid. Entin juga buru-buru mau ke kebun
the membantu ibu,” jawabku.
Setelah
membantu ibu memitik the, kami pulang kerumah. Sesampainya diteras rumah, kami
melihat ayah keluar dan menutup pintu. “Ayah mau kemana?” tanyaku heran. “Eh
Entin, ini ayah mau ke kantor balai desa. Ayah dapat undangan rapat dari pak
Lurah,” jawab ayah. “Ya sudah hati-hati ayah,” sahutku sambil tersenyum melihat
ayahku yang tak kenal lelah.
Malam
harinya, Ayah, Ibu, dan Entin makan malam bersama. Walaupun hanya dengan nasi
dan tempe tapi Entin bahagia karena kebersamaan keluarga kecil Entin.
“Bagaimana yah hasil rapat tadi sore?” tanya ibu. “Tadi pak lurah berkata mulai
sekarang tugas ayah membantu menyetorkan pajak desa Sukabumi ke kota sudah
sirna. Karena ada petugas yang akan menarik pajak setiap warga dan langsung
menyetorkannya ke kantor pusat,”jawab ayah. “Kenapa begitu yah? Apa ayah
melakukan kesalahan?” sahutku sedikit tegas. “Tidak nak, Pak Lurah tidak mau
merepotkan ayah. Karena ayah juga mempunyai keperjaan di kebun pak Dharma,”
jelas ayah. “Lalu siapa yah orang yang akan mengurus peroajakan dikampung kita
ini?” tanya ibu. “Pak Arya, warga baru disini. Beliau ditugaskan dari kantor
pusat,” jelas ayah lagi. “Apa itu ayah Farid,” batinku.
Kehidupan
warga desa Sukabumi sangat bahagia, tentram, dan damai. Walaupun mayoritas
warga menjadi buruh. Tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti
biasanya kalau hari minggu saya yang menggantikan tugas ibu dirumah. Pagi-pagi
sekali ibu mengajakku berbelanja di tukang sayur yang selalu manggal di pos
keamanan desa. Dari kejauhan saya melihat sudah banyak ibu-ibu yang berbelanja
sambil berbincang-bincang. “Pagi ibu-ibu, sedang membicarakan apa ini
sepertinya serius sekali?” tanya ibu ketika sampai di tempat belanja. “Begini
bu Santi, semenjak pembayaran pajak di Pak Aryo biayanya dari bulan ke bulan
semakin besar,” kata Bu Tantri tetangga kita. “Mungkin saja biaya dari pusat
segitu bu,” jawab ibu. “Aaah masa iya, tapi dulu ketika bayar di suami ibu Santi,
pajaknya tetap. Kita merasa keberatan bu. Pengeluaran kita semakin banyak,”
sahut bu Ambar. “Sudahlah ibu-ibu kita jangan menuduh sambarangan dulu. Nanti
malah jadi fitnah,” jawab ibu menutup pembicaraan. “Benar juga kata bu Santi,
sudahlah mending kita belanja dulu,” sahut bu Ambar lagi.
“Wah
anak ayah rajin sekali,” kata ayah yang tersenyum melihatku bersih-bersih
teras. “Ayaah,” teriakku kaget lalu menyambut kedatangan ayah dan ibu yang baru
pulang dari kebun teh. Tiba-tiba banyak mobil yang lewat depan rumah kami.
Tidak seperti biasanya. “Yah, ada apa ya. Sepertinya mobil itu menuju ke rumah
pak lurah,” tanyaku heran. “Iya yah, ada apa ya?” sahut ibu. “Ayah juga tidak
tau, mungkin tamu keluarga pak Lurah,” jawab ayah. “Sudahlah mari kita masuk
dulu,” pinta ayah sambil membukakan pintu.
Saat
kita sedang makan malam, tiba-tiba terdengar suara teriakkan-teriakkan dari
luar. “Ada apa ya Yah, coba kita lihat sebentar,” kata ibu sambil bangkit dari
kursinya. Aku dan ayah pun menyikuti langkah ibu. Kita melihat warga sedang
berlarian. “Bu Hesti, mau kemana? Kenapa tergesa-gesa?” tanya ibu kepada
tetangga depan rumah. “Bu Santi dan pak Ngadimin tidak tau ya?” jawab bu Hesti.
“Memangnya ada apa Bu?” tanya ayah. “Begini pak, pak Aryo warga yang baru yang
katanya petugas perpajakan dari pusat ditangkap polisi,” jelas bu Hesti. “Salah
apa Pak Aryo?” tanya ayah lagi. “Ternyata pajak yang sudak kita bayarkan
melalui Beliau beberapa bulan ini tidak disetorkan kepada kantor pusat. Dengan
alasan warga tidak mau membayar. Kenyataannya kita selalu ditarik setiap
bulannya. Lalu pemerintah pusat memanggil pak Lurah. Pak lurah menjelaskan
bahwa kita selalu ditarik pajak setiap bulannya. Begitu pak Ngadimin,” jelas Bu
Hesti. “Wah orang kayak ok korupsi, jangan-jangan semua hartanya itu tidak
halal,” sahutku. “Sstt, Entin tidak boleh bicara begitu, mungkin Pak Aryo baru
membutuhkan uang itu,” kata ayah menasihatiku.
Pada
malam itu juga Pak Aryo langsung ditahan polisi karena kasus korupsi. Dan pada
saat itu juga Pak Lurah meminta supaya Ayah bersedia mengganti tugas Pak Aryo.
Karya: Dita Anggitaningrum
SMA Negeri 1
Wirosari, Grobogan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar