Minggu, 21 September 2014

Cerpen Tema "Perpajakan"


“KEBOHONGAN AWAL DARI KEHANCURAN”


Kehidupan akan tentram jika kita patuh terhadap peraturan yang berlaku. Nama saya Fatin Kusuma, panggil saja saya Entin. Saya tinggal didesa Sukamaju. Saya tinggal bersama keluarga kecil saya, saya anak tunggal dari Bapak Ngadimin dan Ibu Susanti. Ayah dan Ibu bekerja di kebun teh. Dan dari penghasilan itulah saya bisa sekolah sampai di SMA ini.
Pagi-pagi sekali ibu bangun lalu menanak nasi, “Ibu biar Entin saja yang menyiapkan sarapan”, kataku sambil menyucak mata karena baru bangun tidur. “Eh anak ibu sudah bangun, sudahlah biar ibu saja nak, kamu segera mandi dan siap-siap berangkat sekolah,” pinta ibu kepadaku. “Ya sudah bu kalau begitu Entin mandi dulu”, sahutku.
“Entin, sarapan dulu nak,” panggil ibu sambil mengetuk pintu kamarku. “Iya, sebentar lagi,” jawabku. “Ayah dimana bu, kenapa tidak ikut sarapan?” tanyaku. “Ayahmu sudah berangkat sehabis subuh tadi,” jawab ibu. “Kenapa pagi-pagi sekali? Biasanya Ayah ke kebun bareng sama Entin,” tanyaku heran. “Ayah pergi ke kota, untuk membayarkan pajak warga kampung Sukabumi,” jawab ibu sambil menyiapkan nasi untukku.
Sepulang sekolah seperti biasa saya langsung membantu ibu memetik teh di kebun milik pak Dharma. Ketika dalam perjalanan tiba-tiba, BRUG. “Aaau sakit,” kataku sambil menarik kakiku yang tertimpa sepeda buntutku. “Maaf kamu tidak papa?” sahut pemuda itu sambil membantuku berdiri. “Iya tidak papa,” jawabku. “Maafkan saya, rem motor saya agak mendor,” jawab prmuda itu. “Oya, nama saya Farid, saya orang baru disini,” sahutnya lagi. “Fatin, tapi panggil saya Entin. Pastas saja saya baru melihat kamu,” jawabku. “Iya, saya baru pindah tadi pagi, itupun juga karena pekerjaan ayah saya,” sahutnya menjelaskan. Sesampainya dijembatan perjalanan kitapun berpisah. “Entin, sampai disini dulu ya. Saya harus segera pulang,” kata Farid. “Iya tidak papa Farid. Entin juga buru-buru mau ke kebun the membantu ibu,” jawabku.
Setelah membantu ibu memitik the, kami pulang kerumah. Sesampainya diteras rumah, kami melihat ayah keluar dan menutup pintu. “Ayah mau kemana?” tanyaku heran. “Eh Entin, ini ayah mau ke kantor balai desa. Ayah dapat undangan rapat dari pak Lurah,” jawab ayah. “Ya sudah hati-hati ayah,” sahutku sambil tersenyum melihat ayahku yang tak kenal lelah.
Malam harinya, Ayah, Ibu, dan Entin makan malam bersama. Walaupun hanya dengan nasi dan tempe tapi Entin bahagia karena kebersamaan keluarga kecil Entin. “Bagaimana yah hasil rapat tadi sore?” tanya ibu. “Tadi pak lurah berkata mulai sekarang tugas ayah membantu menyetorkan pajak desa Sukabumi ke kota sudah sirna. Karena ada petugas yang akan menarik pajak setiap warga dan langsung menyetorkannya ke kantor pusat,”jawab ayah. “Kenapa begitu yah? Apa ayah melakukan kesalahan?” sahutku sedikit tegas. “Tidak nak, Pak Lurah tidak mau merepotkan ayah. Karena ayah juga mempunyai keperjaan di kebun pak Dharma,” jelas ayah. “Lalu siapa yah orang yang akan mengurus peroajakan dikampung kita ini?” tanya ibu. “Pak Arya, warga baru disini. Beliau ditugaskan dari kantor pusat,” jelas ayah lagi. “Apa itu ayah Farid,” batinku.
Kehidupan warga desa Sukabumi sangat bahagia, tentram, dan damai. Walaupun mayoritas warga menjadi buruh. Tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti biasanya kalau hari minggu saya yang menggantikan tugas ibu dirumah. Pagi-pagi sekali ibu mengajakku berbelanja di tukang sayur yang selalu manggal di pos keamanan desa. Dari kejauhan saya melihat sudah banyak ibu-ibu yang berbelanja sambil berbincang-bincang. “Pagi ibu-ibu, sedang membicarakan apa ini sepertinya serius sekali?” tanya ibu ketika sampai di tempat belanja. “Begini bu Santi, semenjak pembayaran pajak di Pak Aryo biayanya dari bulan ke bulan semakin besar,” kata Bu Tantri tetangga kita. “Mungkin saja biaya dari pusat segitu bu,” jawab ibu. “Aaah masa iya, tapi dulu ketika bayar di suami ibu Santi, pajaknya tetap. Kita merasa keberatan bu. Pengeluaran kita semakin banyak,” sahut bu Ambar. “Sudahlah ibu-ibu kita jangan menuduh sambarangan dulu. Nanti malah jadi fitnah,” jawab ibu menutup pembicaraan. “Benar juga kata bu Santi, sudahlah mending kita belanja dulu,” sahut bu Ambar lagi.
“Wah anak ayah rajin sekali,” kata ayah yang tersenyum melihatku bersih-bersih teras. “Ayaah,” teriakku kaget lalu menyambut kedatangan ayah dan ibu yang baru pulang dari kebun teh. Tiba-tiba banyak mobil yang lewat depan rumah kami. Tidak seperti biasanya. “Yah, ada apa ya. Sepertinya mobil itu menuju ke rumah pak lurah,” tanyaku heran. “Iya yah, ada apa ya?” sahut ibu. “Ayah juga tidak tau, mungkin tamu keluarga pak Lurah,” jawab ayah. “Sudahlah mari kita masuk dulu,” pinta ayah sambil membukakan pintu.
Saat kita sedang makan malam, tiba-tiba terdengar suara teriakkan-teriakkan dari luar. “Ada apa ya Yah, coba kita lihat sebentar,” kata ibu sambil bangkit dari kursinya. Aku dan ayah pun menyikuti langkah ibu. Kita melihat warga sedang berlarian. “Bu Hesti, mau kemana? Kenapa tergesa-gesa?” tanya ibu kepada tetangga depan rumah. “Bu Santi dan pak Ngadimin tidak tau ya?” jawab bu Hesti. “Memangnya ada apa Bu?” tanya ayah. “Begini pak, pak Aryo warga yang baru yang katanya petugas perpajakan dari pusat ditangkap polisi,” jelas bu Hesti. “Salah apa Pak Aryo?” tanya ayah lagi. “Ternyata pajak yang sudak kita bayarkan melalui Beliau beberapa bulan ini tidak disetorkan kepada kantor pusat. Dengan alasan warga tidak mau membayar. Kenyataannya kita selalu ditarik setiap bulannya. Lalu pemerintah pusat memanggil pak Lurah. Pak lurah menjelaskan bahwa kita selalu ditarik pajak setiap bulannya. Begitu pak Ngadimin,” jelas Bu Hesti. “Wah orang kayak ok korupsi, jangan-jangan semua hartanya itu tidak halal,” sahutku. “Sstt, Entin tidak boleh bicara begitu, mungkin Pak Aryo baru membutuhkan uang itu,” kata ayah menasihatiku.
Pada malam itu juga Pak Aryo langsung ditahan polisi karena kasus korupsi. Dan pada saat itu juga Pak Lurah meminta supaya Ayah bersedia mengganti tugas Pak Aryo.

Karya: Dita Anggitaningrum
SMA Negeri 1 Wirosari, Grobogan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar