Minggu, 21 September 2014

Cerpen Move On


MOVE ON

 Tak selamanya hidup itu berjalan dengan mulus. Pasti ada permasalahan dalam kehidupan setiap orang. Dan setiap permasalahan akan ada hikmah yang dapat diperoleh. Namaku Sasha. Aku adalah anak tunggal sekaligus yatim. Aku sangat menyukai gambar dan lukisan. Ayah meninggal saat penyerahan hadiah kemenanganku atas lomba lukis se-Jawa Tengah, dan beliau tak pernah melihat piagam kemenanganku untuk selamanya.
 Sejak kejadian itu, aku sulit untuk membuat gambar ataupun melukis lagi. Dan tugasku sebagai ilustrator mading sekolah sering tersendat dan tidak sesuai lagi dengan keinginanku.
“Hei, Sha!” teriak Rian dari luar kelas. Rian adalah ketua ilustrator SMA Harapan Kasih. Saat itu aku sedang duduk di bangku kelasku dan membuat ilustrasi untuk majalah dinding bulan ini yang ditugaskan olehnya. Sepertinya dia akan meminta tugasku sekarang. “Gimana Sha?”,tanyanya. “Sorry, Yan,” aku kembali melanjutkan menggambar, tanpa menoleh aku berkata,”mungkin setengah jam lagi siap.” “Entar aku kesini semuanya udah clear, oke?”,sahutnya.  Tanpa menunggu jawabanku, Rian membalikkan langkahnya. Andaikan aku bisa kembali menggambar seperti dulu, mungkin tugas seperti ini akan selesai dari tadi. Oh, god!
Tenggorokanku terasa kering. Akhirnya aku memutuskan untuk membeli minuman di kantin yang cukup jauh juga dari kelas ini. Sesaat setelah aku meneguk susu coklat kesukaanku, terdengar pembicaraan di belakangku. “Kenapa lagi dia?” ,kata suara yang kurang kukenal. “Nggak tau, tuh! Buat ilustrasi gitu aja lama banget,”. Aku mengenali suara ini adalah suara Rian. “Jangan-jangan ilustrasinya baru siap besok!”, lanjut Bams. “Tauk, ah!”, jawab Rian geram, “Cewek itu selalu suka seenaknya. Udah jelek, belagu lagi! Untung…,” Aku tak lagi mendengar kelanjutan percakapan itu, mereka sudah pergi dari tempat duduk mereka. Dan tanpa kusadari airmataku sudah jatuh membasahi pipiku yang tak mulus karena jerawat.

Hari ini aku tak ingin pergi ke sekolah. Bunda tidak banyak bertanya kenapa aku tidak ke sekolah. Karena beliau terlalu sibuk dengan pekerjaannya sebagai photographer. Beberapa orang mengirimkan pesan padaku lewat sms, tapi semuanya tidak menanyakan keadaanku. Mereka hanya memintaku untuk melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Betapa bencinya aku pada mereka semua!
Setelah seminggu aku memutuskan untuk kembali ke sekolah. Dan aku memutuskan untuk tidak memedulikan mereka, yang sebagian besar membenciku. Hari ini ada seorang murid baru cewek pindahan dari Bogor. Anak baru itu sangat cantik, dan dia memperkenalkan dirinya dengan nama Mitha.
“Hai, aku boleh duduk disampingmu?”, tanya MItha kepadaku. “Silahkan, asal jangan ngeganggu aja,” jawabku jutek. “Baiklah,” katanya sambil tersenyum, dan mengacungkan dua jarinya membentuk tanda damai kepadaku, “Aku janji nggak bakal ngerepotin, kok!”, candanya.
Mitha anak yang senang bercerita. Walaupun aku tidak terlalu suka dengan orang yang banyak bicara, tapi aku selalu betah mendengarkan ceritanya yang sebagian besar terdengar konyol. Mitha juga membuatku jadi tidak minder kalau berada di dekatnya, karena dia selalu menggandeng tanganku.
Sha, kamu kok diam saja,” Tanya Mitha suatu hari, “sekali-kali cerita gitu sama aku. Perasaan selama ini aku terus yang cerita kayak tante-tante cerewet!” Aku tertawa mendengar perkataan Mitha yang polos itu. Kejujurannya inilah yang mungkin menyebabkan aku betah mendengarkan ceritanya. “Entah, Mith,” kataku. “Aku tidak punya bahan cerita yang menarik untuk diceritakan.” Sambungku. “Kok gitu?”, tanyanya heran. Aku diam dan tidak menjawab pertanyaannya.
Sha!” teriak Rian dari depan pintu kelas. Aku menjawab dengan mendengus menandakan bahwa aku mendengarkannya. “Tugas kemarin udah selesai?”, tanyanya. “Nggak,” jawabku seenaknya, “aku nggak mood ngerjainnya.” Sahutku. “Maksudmu? Kamu ini, udah lama dikasih tugasnya, belum kelar-kelar juga! Lelet amat sih jadi orang!” bentak Rian, “Niat kerja nggak sih, dasar cewek jelek!” ,sambungnya kesal. Darahku hampir mendidih mendengar perkataannya barusan. Kemudian tiba-tiba Mitha sudah berdiri di depanku dan mendekati Rian. “Sha, kamu tahu nggak, gara-gara cowok yang selalu memandang fisik seseorang kayak gini aku pindah dari sekolahku yang lama,” setelah berkata begitu, Mitha mengepalkan jarinya dan mengarahkannya ke perut Rian. Tinjuan Mitha membuat Rian meringis kesakitan. “Apaan sih cewek ini,” kata Rian sambil memegangi perutnya yang meradang, “Kamu udah gila, ya! Dasar Cewek Lesbi!”
Aku mendekati Rian dan menampar mukanya berkali-kali hingga muka Rian yang putih mulus berubah merah lebam. Aku masih bisa bersabar kalau dia menghinaku. Tapi tidak kalau dia berani menghina satu-satunya teman yang begitu baik padaku. “Itu hadiah buatmu karena nggak pernah sopan sama cewek,” kataku sambil  melemparkan sebuah amplop yang jatuh di atas perutnya, “dan itu surat pengunduran diriku,” ,sambungku lagi. Setelah itu aku dan Mitha pergi meninggalkan Rian yang jatuh kesakitan.
Betapa leganya aku karena telah melampiaskan kekesalanku kepadanya selama ini. Setelah hari itu, entah kenapa jari-jemariku kembali menuruti keinginanku, sehingga aku kembali dapat melukis seperti dulu. Hobiku pun tidak berhenti disini. Akhirnya aku bertekad mendirikan pameran lukisan remaja. Tak hanya lukisan saja ,tetapi kumpulan cerpen dan novel Mitha juga dipajang bersama lukisanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar