MOVE ON
Tak selamanya hidup itu berjalan dengan mulus.
Pasti ada permasalahan dalam kehidupan setiap orang. Dan setiap permasalahan
akan ada hikmah yang dapat diperoleh. Namaku Sasha. Aku adalah
anak tunggal sekaligus yatim. Aku sangat menyukai gambar dan lukisan. Ayah
meninggal saat penyerahan hadiah kemenanganku atas lomba lukis se-Jawa Tengah,
dan beliau tak pernah melihat piagam kemenanganku
untuk selamanya.
Sejak
kejadian itu, aku sulit untuk membuat gambar ataupun melukis lagi. Dan tugasku
sebagai ilustrator mading sekolah sering tersendat dan tidak sesuai lagi dengan
keinginanku.
“Hei, Sha!” teriak Rian dari luar kelas. Rian adalah
ketua ilustrator SMA Harapan Kasih. Saat itu
aku sedang duduk di
bangku kelasku dan membuat
ilustrasi untuk majalah dinding bulan ini yang ditugaskan olehnya. Sepertinya
dia akan meminta tugasku sekarang. “Gimana Sha?”,tanyanya. “Sorry, Yan,” aku kembali melanjutkan menggambar, tanpa menoleh aku berkata,”mungkin setengah jam lagi siap.” “Entar
aku kesini semuanya udah clear, oke?”,sahutnya. Tanpa menunggu jawabanku, Rian membalikkan langkahnya. Andaikan aku bisa kembali
menggambar seperti dulu, mungkin tugas seperti ini akan selesai dari tadi. Oh,
god!
Tenggorokanku terasa kering. Akhirnya aku
memutuskan untuk membeli minuman di kantin yang cukup jauh juga dari kelas ini. Sesaat setelah aku meneguk susu coklat kesukaanku,
terdengar pembicaraan di belakangku. “Kenapa lagi
dia?” ,kata suara yang kurang kukenal. “Nggak tau, tuh! Buat ilustrasi gitu
aja lama banget,”. Aku mengenali
suara ini adalah suara Rian. “Jangan-jangan ilustrasinya baru siap besok!”, lanjut Bams. “Tauk, ah!”, jawab Rian geram,
“Cewek itu selalu suka seenaknya. Udah jelek, belagu lagi! Untung…,” Aku tak lagi mendengar kelanjutan
percakapan itu, mereka sudah pergi dari tempat duduk mereka. Dan tanpa kusadari
airmataku sudah jatuh membasahi pipiku yang tak mulus karena jerawat.
Hari ini aku tak ingin pergi
ke sekolah. Bunda tidak
banyak bertanya kenapa aku tidak ke sekolah. Karena beliau terlalu sibuk dengan
pekerjaannya sebagai photographer. Beberapa orang mengirimkan pesan padaku
lewat sms, tapi semuanya tidak menanyakan keadaanku. Mereka hanya memintaku
untuk melanjutkan pekerjaanku yang belum selesai. Betapa bencinya aku pada
mereka semua!
Setelah seminggu aku memutuskan untuk kembali ke
sekolah. Dan aku memutuskan untuk tidak
memedulikan mereka, yang sebagian besar membenciku. Hari ini ada seorang murid baru cewek pindahan dari Bogor. Anak baru itu sangat cantik, dan dia memperkenalkan
dirinya dengan nama Mitha.
“Hai, aku boleh duduk disampingmu?”, tanya MItha kepadaku. “Silahkan, asal jangan ngeganggu aja,” jawabku jutek. “Baiklah,” katanya sambil tersenyum, dan mengacungkan
dua jarinya membentuk tanda damai kepadaku, “Aku janji nggak bakal ngerepotin,
kok!”, candanya.
Mitha anak yang senang bercerita. Walaupun aku tidak
terlalu suka dengan orang yang banyak bicara, tapi aku selalu betah mendengarkan
ceritanya yang sebagian besar terdengar konyol. Mitha juga membuatku jadi tidak minder kalau berada di dekatnya, karena dia
selalu menggandeng tanganku.
“Sha, kamu kok
diam saja,” Tanya Mitha suatu hari,
“sekali-kali cerita gitu sama aku. Perasaan selama ini aku terus yang cerita kayak tante-tante cerewet!” Aku tertawa mendengar perkataan Mitha yang polos itu. Kejujurannya inilah yang mungkin
menyebabkan aku betah mendengarkan ceritanya. “Entah, Mith,” kataku. “Aku tidak
punya bahan cerita yang menarik untuk diceritakan.” Sambungku. “Kok gitu?”, tanyanya heran. Aku diam dan tidak menjawab pertanyaannya.
“Sha!” teriak Rian dari depan pintu kelas. Aku menjawab
dengan mendengus menandakan bahwa aku mendengarkannya. “Tugas kemarin udah selesai?”, tanyanya. “Nggak,” jawabku seenaknya, “aku nggak mood ngerjainnya.” Sahutku. “Maksudmu? Kamu ini, udah lama
dikasih tugasnya, belum kelar-kelar juga! Lelet amat sih jadi orang!” bentak Rian, “Niat
kerja nggak sih, dasar cewek jelek!” ,sambungnya kesal. Darahku
hampir mendidih mendengar perkataannya barusan. Kemudian tiba-tiba Mitha sudah
berdiri di depanku dan mendekati Rian. “Sha, kamu tahu
nggak, gara-gara cowok yang selalu memandang fisik seseorang kayak gini aku
pindah dari sekolahku yang lama,” setelah berkata begitu, Mitha mengepalkan jarinya
dan mengarahkannya ke perut Rian. Tinjuan Mitha membuat Rian meringis kesakitan. “Apaan sih cewek ini,” kata Rian sambil memegangi perutnya yang meradang, “Kamu udah gila,
ya! Dasar Cewek Lesbi!”
Aku mendekati Rian dan menampar mukanya berkali-kali hingga
muka Rian yang putih mulus berubah merah
lebam. Aku masih bisa bersabar kalau dia
menghinaku. Tapi tidak kalau dia berani menghina satu-satunya teman yang begitu
baik padaku. “Itu hadiah
buatmu karena nggak pernah sopan sama cewek,” kataku sambil melemparkan sebuah amplop yang jatuh di atas
perutnya, “dan itu surat pengunduran diriku,” ,sambungku lagi. Setelah itu
aku dan Mitha pergi meninggalkan Rian yang jatuh kesakitan.
Betapa leganya aku karena telah melampiaskan kekesalanku kepadanya selama ini. Setelah hari itu, entah
kenapa jari-jemariku kembali menuruti keinginanku, sehingga aku kembali dapat
melukis seperti dulu. Hobiku pun tidak berhenti disini. Akhirnya aku bertekad mendirikan pameran
lukisan remaja. Tak hanya lukisan saja ,tetapi kumpulan cerpen dan novel Mitha
juga dipajang bersama lukisanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar